Perjalanan Rasa: Cerita Gen Z yang Jatuh Cinta pada Kedamaian Haramain

Perjalanan Rasa: Cerita Gen Z yang Jatuh Cinta pada Kedamaian Haramain

par Hasan Basri,
Nombre de réponses : 0

Kalimat Haramain sering terdengar di telinga kita, tapi tidak semua orang benar-benar memahami maknanya sampai mereka melangkah ke tanah itu sendiri. Haramain — dua kota suci, Makkah dan Madinah — bukan sekadar tempat ibadah, melainkan ruang sakral yang mampu mengguncang hati siapa pun yang datang dengan niat tulus. Termasuk seorang anak muda bernama Naufal (24), generasi Z yang akhirnya menemukan arah hidupnya lewat perjalanan spiritual ini.

Awal Cerita: Pencarian di Tengah Hiruk Pikuk Dunia

Sebelum berangkat, hidup Naufal terasa “penuh tapi kosong.” Penuh aktivitas, pekerjaan, dan notifikasi media sosial, tapi kosong dari makna. Ia sukses di karier digital marketing, tapi merasa kehilangan sesuatu yang lebih dalam. “Aku punya segalanya, tapi entah kenapa hati ini nggak tenang,” katanya. Hingga suatu hari, ibunya mengajaknya ikut rombongan ke Haramain. Awalnya ia ragu, tapi sebuah kalimat dari sang ibu mengubah segalanya: “Kadang, yang kamu cari bukan di dunia, tapi di tempat Allah memanggilmu.”

Madinah: Kedamaian yang Membungkus Jiwa

Saat menapakkan kaki di Madinah, semua keraguan Naufal menguap. Udara hangatnya seolah menyapa dengan lembut. Kota ini punya aura yang berbeda — tenang, damai, dan penuh cinta. Di Masjid Nabawi, Naufal duduk lama memandangi kubah hijau tempat peristirahatan Rasulullah ﷺ. Ia merasa seolah waktu berhenti.

Di Raudhah, ia merasakan getaran yang tak bisa dijelaskan. Air matanya menetes tanpa ia sadari, bukan karena sedih, tapi karena rindu — rindu pada Tuhan yang selama ini ia lupakan. Malam-malam di Madinah ia isi dengan doa, zikir, dan renungan. “Ternyata, selama ini aku sibuk mencari validasi manusia, padahal yang paling penting adalah ridha Allah سبحانه وتعالى,” ujarnya pelan.

Makkah: Saat Semua Doa Diterjemahkan Menjadi Air Mata

Dari Madinah, rombongan melanjutkan perjalanan ke Makkah. Dalam hati, Naufal tak henti beristighfar. Ketika akhirnya ia melihat Ka'bah untuk pertama kalinya, tubuhnya lemas, matanya berkaca-kaca. “Ya Allah, aku benar-benar di sini,” ucapnya terbata. Setiap langkah tawaf membawa kenangan dan penyesalan — tentang waktu yang terbuang, tentang doa yang belum pernah sungguh-sungguh ia panjatkan.

Di Masjidil Haram, Naufal menemukan arti dari kata “pasrah.” Ia belajar bahwa bahagia bukan tentang pencapaian, tapi tentang seberapa dekat kita dengan Sang Pencipta. Makkah mengajarkannya arti kerendahan hati. Ia melihat jutaan manusia dari berbagai negara, semua berdiri sejajar, mengenakan pakaian yang sama, memohon hal yang sama: ampunan dan cinta Allah سبحانه وتعالى.

Refleksi Seorang Gen Z di Haramain

Selama berada di Haramain, Naufal menyadari betapa kuatnya spiritualitas generasi muda jika diarahkan dengan benar. Banyak teman sebayanya di rombongan — mahasiswa, influencer, pengusaha muda — yang datang bukan hanya untuk beribadah, tapi juga mencari ketenangan batin di tengah kebisingan dunia modern. Mereka berbagi cerita, saling mendukung, dan saling mengingatkan. “Ternyata, healing terbaik itu bukan liburan ke Bali atau Jepang, tapi sujud di depan Ka'bah,” candanya sambil tertawa kecil.

Namun di balik canda itu, ada kesadaran baru: Haramain adalah tempat di mana setiap jiwa menemukan maknanya. Bukan sekadar perjalanan fisik, tapi perjalanan hati — dari gelisah menuju tenteram, dari sibuk menuju syukur.

Pulang dengan Hati yang Baru

Ketika pesawat meninggalkan tanah suci, Naufal memandangi kota Makkah yang perlahan mengecil di bawah sana. Di dadanya, ada campuran antara rindu dan syukur. Ia tahu, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Kini, ia lebih rajin shalat, lebih sering bersyukur, dan lebih sadar bahwa dunia hanyalah tempat singgah.

“Kalau Allah mengizinkan, aku ingin kembali. Karena Haramain bukan sekadar tempat ibadah — ia rumah bagi hati yang pernah tersesat,” katanya. Dan sejak hari itu, setiap kali mendengar adzan, hatinya selalu teringat pada dua kota yang mengubah hidupnya: Makkah dan Madinah, dua cahaya suci dari Haramain.