Dari Niat Hingga Berangkat: Perjalanan Spiritual di Balik Persiapan Umroh

Dari Niat Hingga Berangkat: Perjalanan Spiritual di Balik Persiapan Umroh

par Hasan Basri,
Nombre de réponses : 0

Sebelum Berangkat ke Tanah Suci: Kisah Persiapan Umroh yang Mengubah Hati

Ada rasa yang tak bisa dijelaskan ketika seseorang memutuskan untuk berangkat umroh.
Bukan sekadar perjalanan ke luar negeri, tapi perjalanan spiritual menuju rumah Allah سبحانه وتعالى — tempat di mana setiap langkah adalah doa, dan setiap air mata menjadi saksi cinta seorang hamba kepada Tuhannya.

Begitu pula denganku. Cerita ini dikutip dari Bery Medina Blog, bermula dari niat yang sederhana, tapi penuh harap: “Ya Allah, izinkan aku menjadi tamu-Mu di Baitullah.”

Niat yang Tumbuh di Tengah Kesibukan Dunia

Awalnya, niat umroh terasa jauh. Sibuk kerja, tanggungan keluarga, dan tumpukan urusan dunia sering membuat doa itu hanya mampir sesaat di hati. Tapi entah kenapa, setiap kali mendengar azan, hati ini bergetar dan ada suara kecil yang berbisik,

“Kapan kamu akan datang menemui-Ku di rumah-Ku?”

Dari sanalah aku mulai menata hati. Bukan hanya soal uang, tapi soal kesiapan. Karena umroh bukan tentang seberapa mampu kita membayar tiket, melainkan seberapa siap kita memantaskan diri jadi tamu Allah سبحانه وتعالى.

Menabung Bukan Sekadar Soal Uang

Langkah pertama tentu soal finansial. Aku mulai menabung, bahkan dari hal kecil. Uang jajan dikurangi, nongkrong diminimalkan. Tapi yang menarik, setiap kali aku menabung untuk umroh, rasanya bukan kehilangan, melainkan ketenangan.

Ada kepuasan tersendiri saat tahu uang itu bukan untuk hal duniawi, tapi untuk perjalanan suci.
Dan perlahan, saldo tabungan umroh mulai tumbuh — bersamaan dengan semangat yang semakin besar.

Aku juga mulai banyak membaca tentang biaya umroh, jenis paket, dan cara memilih travel terpercaya. Dari sana aku sadar, memilih agen perjalanan bukan soal harga termurah, tapi soal kenyamanan dan kejujuran. Karena perjalanan suci ini butuh pembimbing yang amanah.

Persiapan Mental: Membersihkan Hati Sebelum Berangkat

Selain tabungan, ada hal yang jauh lebih penting: mental dan hati.
Umroh bukan sekadar “perjalanan liburan religi”. Di sana, setiap detik adalah ujian kesabaran.
Antrian panjang, panas terik, hingga perbedaan budaya — semua bisa menguji keikhlasan.

Aku belajar dari banyak cerita bahwa persiapan umroh sejatinya dimulai dari dalam diri.
Aku mulai lebih banyak istighfar, memperbaiki salat, berusaha menahan emosi, dan berdamai dengan masa lalu.

Karena bagaimana mungkin kita ingin bertamu ke rumah Allah سبحانه وتعالى, jika hati masih penuh beban dan dendam?

Belajar Tentang Rukun dan Doa Umroh

Setiap malam sebelum tidur, aku membuka buku panduan umroh. Menghafal bacaan talbiyah, memahami tata cara thawaf dan sa’i, dan menonton video perjalanan jamaah di YouTube.

Aku ingin ketika sampai di sana, aku benar-benar paham makna setiap langkah.
Bahwa thawaf bukan sekadar mengelilingi Ka’bah, tapi simbol dari cinta yang terus berputar mengelilingi Tuhannya.
Bahwa sa’i bukan sekadar lari antara dua bukit, tapi cermin perjuangan Hajar yang mencari air untuk putranya.

Setiap kali aku membaca kisah itu, air mata menetes tanpa sadar.
Aku membayangkan bagaimana rasanya berdiri di depan Ka’bah, mengucap doa yang mungkin selama ini tertahan di hati.

Kesiapan Fisik: Tubuh yang Kuat untuk Ibadah yang Panjang

Banyak yang mengira umroh hanya soal spiritual. Padahal fisik juga perlu disiapkan.
Aku mulai rutin jalan kaki setiap pagi, melatih pernapasan, bahkan mencoba menaiki tangga beberapa kali untuk membiasakan diri.

Bukan karena takut lelah, tapi aku ingin ibadahku nanti sempurna.
Aku tak ingin kehilangan momen berharga hanya karena tubuh tak siap.

Doa dan Restu dari Orang Tersayang

Hari-hari menjelang keberangkatan terasa semakin emosional.
Aku mengunjungi orang tua, memohon doa dan restu. Ketika ibu memelukku sambil berbisik,

“Semoga Allah mudahkan langkahmu, Nak,”
aku tak kuasa menahan air mata.

Di situlah aku sadar, umroh bukan hanya tentang diri sendiri. Tapi juga tentang doa-doa yang dititipkan oleh orang-orang yang kita cintai.

Setiap restu yang terucap, setiap pelukan yang hangat, seolah menjadi energi yang menuntunku nanti di tanah suci.

Hari Keberangkatan: Antara Haru dan Syukur

Hari itu akhirnya tiba. Aku berdiri di bandara, mengenakan pakaian ihram.
Jantung berdebar, tangan gemetar, tapi hati tenang.
Aku melihat banyak jamaah lain — tua, muda, laki-laki, perempuan — semua membawa doa dan harapan yang sama:
Ingin bertemu dengan Allah سبحانه وتعالى di rumah-Nya.

Di dalam pesawat, aku menutup mata, mencoba merenung.
“Dulu aku hanya bisa bermimpi. Tapi sekarang aku benar-benar di perjalanan menuju Baitullah.”

Setiap detik terasa begitu sakral. Seolah hidup memberiku kesempatan baru untuk mengenal makna syukur yang sebenarnya.

Penutup: Umroh Bukan Akhir, Tapi Awal Perubahan

Sepulang dari Tanah Suci nanti, aku tak ingin menjadi orang yang sama.
Aku ingin menjaga rasa khusyuk, kesabaran, dan ketenangan yang Allah سبحانه وتعالى tanamkan di sana.

Persiapan umroh ternyata bukan cuma soal koper dan tiket, tapi soal kesiapan hati untuk berubah.
Karena begitu kaki menginjak Makkah, dunia seolah berhenti. Yang tersisa hanyalah dirimu dan Allah سبحانه وتعالى.

Dan di titik itulah, kamu sadar:

Perjalanan terbaik bukan yang jauh jaraknya, tapi yang paling dekat dengan hati.